Apresiasi seni rupa adalah aktivitas mengindra karya seni rupa, merasakan, menikmati,
menghayati dan menghargai nilai-nilai keindahan dalam karya seni serta menghormati
keberagaman konsep dan variasi konvensi artistik eksistensi dunia seni rupa. Secara teoretik
menurut Brent G. Wilson dalam bukunya Evaluation of Learning in Art Education; apresiasi
seni memiliki tiga domain, yakni: perasaan (feeling), dalam konteks ini terkait dengan perasaan
keindahan, penilaian (valuing) terkait dengan nilai seni, dan empati (emphatizing), terkait dengan
sikap hormat kepada dunia seni rupa, termasuk kepada profesi seniman, yaitu perupa (pelukis,
pematung, penggrafs, pengeramik, pendesain, pengriya, dan lain-lain).
Pada hakikatnya semua manusia dianugerahi oleh Tuhan apa yang disebut “sense of beauty”,
rasa keindahan. Meskipun ukurannya tidak sama pada setiap orang, jelas setiap manusia sadar
atau tidak menerapkan rasa keindahan ini dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika kita
memantas diri dalam berpakaian, memilih dasi, memilih sepatu, dan berdandan (sekedar
contoh). Senantiasa rasa keindahan berperan memandu perilaku kita untuk memilih apa yang
kita anggap menampilkan citra harmonis yang pada umumnya kita sebut tampan, gagah, cantik,
ayu, rapi. Dalam bahasa sehari-hari, yaitu penggunaan kata “lain” menyebut fenomena keindahan.
Demikian pula dalam melengkapi kebutuhan hidup, kita selalu dipandu oleh rasa keindahan.
Katakanlah dalam menata arsitektur rumah tinggal, memilih perabotan rumah tangga, televisi,
kulkas, otomotif, sampai kepada pembelian piring, sendok, garpu, dan segala macam barang
yang kita gunakan di kota. Demikian pula pada kehidupan di desa, hampir semua benda yang
dibutuhkan memiliki kaitan dengan rasa keindahan dan seni, seperti kain tenun, keris, batik,
ornamen, busana, keramik, perhiasan, alat musik, dan banyak lagi.
Hal yang sama terdapat pula di daerah pedalaman, betapapun sederhana tingkat kehidupan
manusia, dalam perlengkapan dan peralatan hidupnya, seperti busana, tata rias, motif ornamen,
tari-tarian, musik, dan banyak sekali karya-karya seni etnik yang sangat indah dan mengagumkan.
Dengan uraian ini, menjadi jelas bahwa seni terdapat di mana-mana. Itulah sebabnya kesenian
secara antropologis ditempatkan sebagai unsur kebudayaan yang universal, sama seperti rasa
keindahan yang juga bersifat universal.
Tingkat kepekaan perasaan keindahan akan berkembang lewat kegiatan menerima (sikap
terbuka) kepada semua manifestasi seni rupa, mengapresiasi aspek keindahan dan maknanya (seni
lukis, seni patung, seni grafs, desain, dan kriya) menghargai aspek keindahan dan kegunaannya
(desain produk atau industri, desain interior, desain komunikasi visual, desain tekstil, dan
berbagai karya kriya (kriya keramik, tekstil, kulit, kayu, logam dan lain-lain). Melalui proses
penginderaan, kita mendapatkan pengalaman estetis. Dari proses penghayatan yang intens, kita
akan mengamalkan rasa keindahan yang dianugerahkan Tuhan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan mengamati karya seni rupa murni dan seni rupa terapan, dalam arti praksis
adalah kemampuan mengklasifkasi, mendeskripsi, menjelaskan, menganalisis, menafsirkan dan
mengevaluasi serta menyimpulkan makna karya seni. Aktivitas ini dapat dilatih sebagai
kemampuan apresiatif secara lisan maupun tulisan.
Aktivitas pendukung, seperti membaca teori seni, termasuk
sejarah seni dan reputasi seniman, dialog dengan tokoh seniman
serta budayawan, merupakan pelengkap kemampuan berapresiasi,
sehingga para siswa dapat menyertakan argumentasi yang logis
dalam menyimpulkan makna seni.
Secara psikologis pengalaman pengindraan karya seni itu
berurutan dari sensasi (reaksi panca indra kita mengamati seni),
emosi (rasa keindahan), impresi (kesan pencerapan), interpretasi
(penafsiran makna seni), apresiasi (menerima dan menghargai
makna seni, dan evaluasi (menyimpulkan nilai seni). Aktivitas
ini berlangsung ketika seseorang mengindra karya seni, biasanya
sensasi tersebut diikuti dengan aktivitas berasosiasi, melakukan
komparasi, analogi, diferensiasi, dan sintesis. Pada umumnya
karya seni yang dinilai baik akan memberikan kepuasan spiritual
dan intelektual bagi pengamatnya.
B. Pengembangan Sikap Empati kepada Profesi
Seniman dan Budayawan
Apresiasi seni budaya, termasuk seni rupa, sebagai bagian dari
estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas kemampuan
mengapresiasi keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan
ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu
menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang
harmonis.
Pengenalan tokoh-tokoh seni budaya, reputasinya, dan
kontribusi mereka bagi masyarakat dan bangsa, atau bagi kemanusiaan pada umumnya, adalah upaya nyata mengembangkan perasaan simpati, yang jika
dilakukan berulang-ulang akan meningkat menjadi perasaan empati. Dengan demikian, peserta
didik menjadi kagum akan prestasi dan jasa-jasa para seniman atau budayawan berdasarkan
kualitas karya seni dan pengakuan serta penghargaan yang diperolehnya, baik dalam tingkat
lokal, nasional, dan internasional.
C. Mengamalkan Perilaku Manusia
Berbudaya dalam Kehidupan
Bermasyarakat
Sebelum membahas perilaku manusia berbudaya dalam kehidupan bermasyarakat, perlu
dipahami terlebih dahulu hakikat dan pengertian kebudayaan. Kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta, buddayah bentuk jamak dari kata budhi yang berarti akal dan nalar. Jadi kata
kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang berhubungan dengan budi, akal, dan nalar. Menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
Kebudayaan memiliki tiga wujud, (1) kebudayaan sebagai konsep, (2) kebudayaan sebagai
aktivitas, dan (3) kebudayaan sebagai artefak. Dengan klasifkasi seperti ini seluruh aktivitas
interaksi manusia dengan Tuhan, interaksi dengan masyarakat, dan interaksi dengan alam,
semuanya adalah kebudayaan.
Kata budaya sering juga dipadankan dengan kata adab, yang menunjukkan unsur-unsur budi
luhur dan indah. Misalnya, kesenian, sopan santun, dan ilmu pengetahuan, adalah peradaban
atau kebudayaan. Namun menurut Van Peursen, dewasa ini fIlsafat kebudayaan modern akan
meninjau kebudayaan terutama dari sudut policy tertentu, sebagai satu strategi atau master
plan bagi hari depan. Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang. Berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja
ditengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Dengan mengenal, memahami, dan menghargai budayanya sendiri, orang dapat
mengembangkan potensi perilaku yang baik bergaul dengan masyarakat seni dan lingkungan
sosial sebagai insan yang berbudaya. Mengembangkan sikap ramah, dan rendah hati dalam
berinteraksi secara efektif dengan para seniman dan budayawan, lingkungan sosial serta dalam
menempatkan dirinya sebagai cerminan bangsa yang berbudaya dalam pergaulan dunia.
D. Interaksi dan Komunikasi Efektif dengan Lingkungan Seni Budaya
Dari pengalaman belajar apresiasi seni, di harapkan berkembang sikap demokratis, etis,
toleransi, dan sikap positif lainnya. Sikap demokratis misalnya akan tercermin ketika siswa
mengacu kepada prinsip diferensiasi dan tidak diskriminatif. Hal ini akan terjadi bila ia memberi
peluang yang sama kepada semua anggota panitia mengemukakan pendapat untuk menentukan,
misalnya, tema pameran. Contoh sikap demokratis lain adalah perilaku yang tidak bias gender.
Siswa akan memperlihatkan penerapan prinsip kesetaraan gender sesama teman dan pergaulan
dengan masyarakat seni dan lingkungan pergaulan sosial pada umumnya. Sikap toleran akan
tercermin ketika siswa dapat menerima perbedaan pendapat dalam aktivitas mengapresiasi seni,
karena dari kajian yang dilakukannya dalam menafsirkan data pengamatan perbedaan respons
estetik adalah sesuatu yang wajar. Sebab dia tahu pada dasarnya seni dapat dipersepsikan
secara berbeda. Sikap etis akan tercermin bila siswa dalam kegiatan diskusi yang hangat, tidak
mengucapkan kata-kata atau menunjukkan perilaku yang bernada melecehkan, menertawakan,
merendahkan, menghina, atau kata lain yang setara dengan itu.
Dari perolehan kehidupan berbudaya dalam proses pembelajaran di sekolah, dan dari interaksi
siswa dengan dunia seni (kunjungan pameran, museum, galeri, sanggar, atau pergaulan langsung,
misalnya, dalam kegiatan diskusi dalam kegiatan pameran di sekolah dan lain-lain). Diharapkan
para siswa dapat berinteraksi dengan santun dan efektif dengan lingkungan masyarakat yang
lebih luas, termasuk lingkungan seni budaya, di mana ia bermukim.
Dengan sikap berbudaya seperti itu, maka para siswa dapat mengamalkan perilaku positif dan
optimistik dalam berinteraksi dengan masyarakat seni rupa, seni pertunjukan, dan masyarakat
dalam konteks lokal, nasional, dan internasional.
E. Rangkuman
Apresiasi seni rupa adalah aktivitas mengindra karya seni rupa, menghargai nilai-nilai
keindahan, keberagaman, dan kaidah artistik eksistensi karya seni rupa. Sikap apresiatif ini
terbentuk, atas kesadaran akan kontribusi para seniman bagi bangsa dan negara, atau bagi
nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Pengenalan akan tokoh-tokoh budaya, perupa murni,
pendesain, dan pengriya, dan reputasinya, adalah upaya nyata mengembangkan perasaan simpati,
yang jika dilakukan berulang-ulang akan meningkat menjadi perasaan empati.
F. Refeksi
Setiap manusia dianugerahi oleh Tuhan perasaan keindahan, sadar atau tidak manusia
menerapkan rasa keindahan ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aktivitas kesenirupaan, baik
dalam proses penciptaan, pengkajian, dan penyajiannya senantiasa dipandu oleh rasa keindahan
yang sifatnya esensial dalam seni. Pada hakikatnya, pengalaman menikmati rasa keindahan itu
memberikan kebahagiaan spiritual bagi manusia. Oleh sebab itu, sudah selayaknya manusia
mensyukuri anugerah Tuhan itu dan memuliakan nama-Nya.
Sumber : Buku Seni Budaya Kelas XI Semester 1 Edisi Revisi 2017 Penerbit Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Komentar
Posting Komentar